Minggu, 18 Desember 2011

PANGERAN ANTASARI


Lahir             : Banjarmasin, 1797
Wafat            : Bayan Begak, 11 Oktober 1862
Makam          : Banjarmasin

Perlawanan rakyat Banjar terhadap Belanda dimulai saat Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang wafat. Rakyat Banjar dan keluarga besar Kesultanan Banjar, termasuk Pangeran Antasari, menuntut agar Pangeran Hidayatullah, sebagai pewaris takhta Kesultanan Banjar, harus menjadi Sultan Banjar. Sejak saat itulah, rakyat Banjar dengan dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, dan Demang Leman mengangkat senjata melawan Belanda.
Pangeran Antasari berhasil menyerang dan menguasai kedudukan Belanda di Gunung Jabuk. Pangeran Antasari juga menyerang tambang batubara Belanda di Pengaron. Pejuang-pejuang Banjar juga berhasil menenggelamkan kapal Onrust beserta pemimpinnya, seperti Letnan Van der Velde dan Letnan Bangert. Peristiwa yang memalukan Belanda ini terjadi atas siasat Pangeran Antasari dan Tumenggung Suropati.
Pada tahun 1861, Pangeran Hidayatullah berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pangeran Antasari kemudian mengambil alih pimpinan utama. Ia diangkat oleh rakyat sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’min, sehingga kualitas peperangan menjadi semakin meningkat karena ada unsure agama. Saying, Pangeran Antasari akhirnya wafat pada tanggal 11 Oktober 1862 karena penyakit cacar yang saat itu sedang mewabah di Kalimantan Selatan. Padahal, saat itu, ia sedang menyiapkan serangan besar-besaran terhadap Belanda.
Untuk menghormati jasa-jasa Pangeran Antasari, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 06/TK/1968, Pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan kemerdekaan nasional kepadanya.




Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia

PANGERAN DIPONEGORO


Lahir             : Yogyakarta, 11 November 1785
Wafat            : Makassar, 8 Januari 1855
Makam          : Makassar

Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowiryo. Ia juga bergelar “Sultan Abdul Hamid Herucokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi”. Pangeran Diponegoro adalah anak dari Pangeran Adipati Anom (Hamengku Buwono III) dari garwa ampeyan (selir).
Perlawanan Pangeran Diponegoro dimulai ketika dia dengan berani mencabut tiang-tiang pancang pembangunan jalan oleh Belanda yang melewati rumah, masjid, dan makam leluhur Pangeran Diponegoro. Pembangunan jalan ini dilakukan atas inisiatif Patih Danurejo IV yang menjadi antek Belanda. Belanda yang dibantu Patih Danurejo IV kemudian menyerang kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Sejak saat itu, berkobarlah perang besar yang disebut Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).
Belanda sulit mengalahkan Pangeran Diponegoro yang menggunakan taktik gerilya. Dengan dibantu oleh Kyai Mojo (Surakarta), Sentot Alibasya Prawirodirjo, Pangeran Suryo Mataram, Pangeran Pak-pak (Serang), Pangeran Diponegoro berhasil memberikan perlawanan yang hebat kepada Belanda.
Belanda telah menggunakan berbagai cara untuk menangkap Pangeran Diponegoro namun gagal. Sampai pada akhirnya digunakanlah siasat licik dengan berpura-pura mengajak berunding dan berjanji akan menjaga keselamatannya. Namun, ternyata Belanda ingkar janji dan menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 saat terjadi perundingan di Magelang. Tanpa malu Jenderal Hendrik de Kock menangkap Pangeran Diponegoro agar perang besar di Pulau Jawa tersebut dapat segera diakhiri. Perang Diponegoro telah menimbulkan kerugian yang amat besar bagi Belanda.
Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan ditempatkan di Benteng Amsterdam. Namun, empat tahun kemudian ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar hingga wafatnya dan dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar.
Untuk menghormati jasa-jasa Pangeran Diponegoro, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/1973, Pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepadanya.


Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia

Rabu, 14 Desember 2011

MENGENAL PAHLAWAN INDONESIA


CUT  NYAK  DIEN

Lahir             : Lampadang, Aceh 1850
Wafat            : Sumedang, 6 November 1908
Makam          : Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat

Cut Nyak Dien menikah pada usia 12 tahun dengan Teuku Cik Ibrahim Lamnga. Namun pada suatu pertempuran di Gletarum, Juni 1878, sang suami Teuku Ibrahim gugur. Kemudian Cuk Nyak Dien bersumpah hanya akan menerima pinangan dari laki-laki yang bersedia membantu untuk menuntut balas kematian Teuku Ibrahim.
Cut Nyak Dien akhirnya menikah kembali dengan Teuku Umar tahun 1880, kemenakan ayahnya seorang pejuang Aceh yang cukup disegani Belanda. Sejak itu, Cut Nyak Dien selalu berjuang bersama suaminya (September 1893 – Maret 1896). Dalam perjuangannya, Teuku Umar berpura-pura bekerjasama dengan Belanda sebagai taktik untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang lainnya. Sementara itu, Cut Nyak Dien tetap berjuang melawan Belanda di daerah kampong halaman Teuku Umar. Teuku Umar akhirnya kembali lagi bergabung dengan para pejuang setelah taktinya diketahui oleh Belanda.
Tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh, namun Cut Nyak Dien tetap meneruskan perlawanannya dengan bergerilya. Ia tidak pernah mau berdamai dengan Belanda yang disebutnya “Kafir-kafir”. Perjuangannya yang berat dengan cara gerilya keluar masuk hutan menyebabkan kondisi pasukan dan dirinya amat mengkhawatirkan. Cut Nyak Dien akhirnya menderita sakit encok dan matanya menjadi rabun. Merasa kasihan dengan kondisi demikian, para pengawal Cut Nyak Dien akhirnya membuat kesepakatan dengan pihak Belanda, bahwa “Cut Nyak Dien boleh ditangkap asal diperlakukan sebagai orang terhormat dan bukan sebagai penjahat perang.” Sebagai tawanan, Cut Nyak Dien masih sering kedatangan tamu-tamu sehingga Belanda menjadi curiga dan akhirnya mengasingkannya ke Sumedang pada tanggal 11 Desember 1905.
Cut Nyak Dien akhirnya wafat dipengasingan sebagai pejuang wanita berhati baja dan ibu bagi rakyat Aceh. Pemerintah RI menganugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional kepada Cut Nyak Dien berdasarkan SK Presiden RI No. 106/1964.


Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia