Sabtu, 08 September 2012

KAPTEN CZI (ANUMERTA) PIERRE TENDEAN


 Lahir                : Jakarta, 21 Februari 1939
Wafat               : Jakarta, 1 Oktober 1965
Makam             : TMP Kalibata, Jakarta

Meskipun Pierre adalah putra seorang dokter, namun minatnya pada bidang militer ternyata cukup besar. Oleh karena itu, setelah lulus Sekolah Menengah Atas bagian B, Pierre mendaftarkan diri ke Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek).
Di Akademi Militer, Pierre tergolong taruna yang cakap dan berprestasi. Tak heran, jika ia akhirnya diangkat menjadi Komandan Batalyon Taruna dan Ketua Senat Korps Taruna. Ketika menjadi Kopral Taruna, Pierre mendapat tugas praktik lapangan untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera Utara.
Operasi militer bernama Operasi Sapta Marga ini berada di bawah Komando Brigjen Jatikusumo dalam kesatuan zeni tempur. Tahun 1962, Pierre Tendean lulus dari Akademi Militer dan bertugas sebagai Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan, Medan. Kemudian ia mengikuti pendidikan intelejen untuk tugas penyusupan ke daerah Malaysia.
Ketika itu, konfrontasi Indonesia dengan Malaysia sedang memanas. Operasi penyusupan ke Malaysia ini merupakan operasi siaga yang merupakan bagian dari pelaksanaan Dwi Komando Rakyat (Dwikora).
April 1965, Pierre Tendean diangkat menjadi Ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution. Jenderal Nasution ketika itu merupakan perwira tinggi yang paling diincar PKI untuk dibunuh. Nasution, dianggap sebagai musuh besar sehingga menjadi target utama.
PKI kemudian menyantroni rumah Nasution untuk menculik dan membunuhnya. Namun Nasution berhasil menyelamatkan diri. Sementara itu, Pierre yang tertangkap mengaku dirinya adalah Jenderal AH Nasution. Pierre akhirnya dibunuh dan jenasahnya ditanam bersama ketujuh pahlawan revolusi lainnya di lubang buaya.
Sebagai ajudan dan pengawal, Pierre Tendean dengan setia dan tabah melindungi Jenderal AH Nasution sehingga akhirnya harus menjadi korban. Negara mengangkat Pierre Tendean sebagai pahlawan revolusi berdasarkan SK Presiden RI No. 111/KOTI/1965.

Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka

JENDERAL TNI (ANUMERTA) BASUKI RACHMAT


 Lahir                : Tuban, Jawa Timur, 14 November 1921
Wafat               : Jakarta, 8 Januari 1969
Makam            : TMP Kalibata

Sebagai mantan anggota PETA (Pembela Tanah Air) berpangkat shodanco, Basuki Rachmat turut aktif membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Maospati. Sejak saat itu Basuki Rachmat terus mengabdikan hidupnya sebagai tentara. Basuki Rachmat juga pernah bertempur melawan Belanda pada Agresi Militer II Belanda. Ia memimpin Batalyon 16 mempertahankan Kota Bojonegoro.
Pada tahun 1956 – 1959, Basuki Rachmat bertugas sebagai Atase Militer RI di Australia. Sekembalinya dari Australia, ia diangkat sebagai Asisten IV Kepala Staf Angkatan Darat yang bertugas mengurus semua keperluan atau perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1962, Basuki Rachmat diangkat sebagai Panglima Komando Militer VIII/Brawijaya dengan pangkat mayor jenderal dan bermarkas di Surabaya. Pada waktu pemberontakan G30S/PKI terjadi, dalam tubuh pasukan Komando Militer VIII/Brawijaya timbul keresahan akibat hasutan-hasutan yang dilakukan oleh PKI yang menganggap bahwa jenderal-jenderal Angkatan Darat akan melakukan kudeta kepada Presiden Soekarno. Basuki Rachmat kemudian membantu pimpinan Angkatan Darat menyadarkan pasukannya agar tidak mudah diperalat oleh PKI.
Pada Desember 1965, Basuki Rachmat diangkat sebagai Deputi Khusus Menteri/Panglima Angkatan Darat. Tanggal 11 Maret 1966, ia bersama-sama dengan Brigjen. M. Yusuf dan Brigjen. Amir Machmud menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor. Dari hasil pertemuan tersebut, keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang konon memberi kuasa kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Pada April 1966, Basuki Rachmat diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri dengan tugas utama memenangkan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat pada tahun 1969. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.10/TK/1969, Jenderal Basuki Rachmat diangkat sebagai pahlawan nasional.

Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka

BRIGJEN. (ANUMERTA) KATAMSO


 Lahir                : Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923
Wafat               : Yogyakarta, 1 Oktober 1965
Makam            : TMP Semaki, Yogyakarta

Katamso memulai karir militernya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor, yakni pendidikan para militer bentukan Jepang. Kemudian setelah Proklamasi Kemerdekaan ia bergabung dengan TKR dan diangkat sebagai Komandan Kompi di Klaten. Katamso bersama pasukannya seringkali terlibat pertempuran dengan tentara Belanda pada saat Agresi Militer Belanda Berlangsung.
Katamso pernah ikut terlibat dalam Operasi Merdeka Timur di bawah pimpinan Letkol Soeharto. Operasi militer tersebut digelar untuk menumpas gerakan pemberontakan batalyon 426 yang menyatakan bergabung dengan DI/TII di bawah pimpinan S.M. Kartosuwiryo.
Demikian juga pada waktu terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta, Katamso diangkat menjadi Komandan Batalyon A Komando Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Selanjutnya, Katamso diserahi tugas sebagai Kepala Staf Resimen Tim Pertempuran (RTP) II Diponegoro di Bukit Tinggi. Tugas utamanya ketika itu melakukan pembersihan, penumpasan, dan menjaga keamanan wilayah dari gerombolan pengacau keamanan.
Dari Bukit Tinggi ia kembali dipindahtugaskan sebagai Kepala Staf Resimen Riau Daratan Kodam III/17 Agustus dengan tugas yang sama. Setelah Sumatera kembali aman, ia ditarik ke Jakarta dan menjabat sebagai Komandan Pusat Pendidikan Infantri (Pusdikif) di Bandung.
Tahun 1963, Katamso diangkat menjadi Komandan Resort Militer (Korem) 072, Kodam VII/Diponegoro yang berkedudukan di Yogyakarta. Katamso juga aktif dalam membina dan memberikan latihan militer kepada Resimen Mahasiswa (Menwa) untuk mengantisipasi ancaman PKI yang saat itu sedang berupaya untuk melakukan perebutan kekuasaan. Karena sikapnya itu, Katamso dimusuhi oleh PKI.
Sehingga pada waktu terjadinya G-30-S/PKI di beberapa kota seperti di Jakarta dan Yogyakarta, Kolonel Katamso juga menjadi target penculikan dan pembunuhan. Katamso diculik dan dibawa ke daerah Kentungan, sebelah utara Yogyakarta, kemudian dibunuh. Tanggal 22 Oktober 1965 jenasah Katamso ditemukan, dan selanjutnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
Sebagai catatan, Katamso juga dikenal giat dalam mengembangkan pendidikan untuk masyarakat umum. Katamso oleh Pemerintah RI dianugerahi gelar pahlawan revolusi berdasarkan SK Presiden RI No.118/KOTI/1965.

Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka

Kamis, 06 September 2012

MARSDA TNI (ANUMERTA) ABDUL HALIM PERDANAKUSUMA


 Lahir: Sampang, Madura, 18 November 1922
Wafat: Malaysia, 14 Desember 1947
Makam: TMP Kalibata

Abdul Halim menamatkan pendidikannya di MULO (SMP). Sebelumnya ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Pamong Praja di Magelang. Namun baru sampai tingkat II, Abdul Halim mengikuti milisi yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan Perang Dunia II. Abdul Halim kemudian mengikuti pendidikan Angkatan Laut di Surabaya. Ia sempat bekerja di Dinas Penerangan Angkatan Laut Belanda.
Pada waktu Jepang masuk ke Indonesia, ia dibawa oleh Belanda ke Inggris untuk mengikuti pendidikan di Royal Canadian Air Force bagian navigator. Sejak itu Abdul Halim lebih aktif di Angkatan Udara daripada di Angkatan Laut. Saat perang dunia II, Abdul Halim ikut dalam operasi-operasi udara sekutu di Eropa. Ia pernah melakukan 44 misi pengeboman atas Jerman dengan menggunakan pesawat AVRO Landcaster.
Setelah Indonesia merdeka, Abdul Halim kembali ke tanah air dan bergabung dengan TKR Jawatan Penerbangan di bawah pimpinan Komodor S Suryadarma. Kolonel Abdul Halim ditunjuk sebagai Pembina TKR Jawatan Penerbangan (sekarang AURI) bersama-sama dengan beberapa tokoh lainnya seperti Adi Sucipto dan Abdulrahman Saleh.
Pada waktu itu, satuan Angkatan Udara praktis belum terorganisir dengan baik dan praktis masih berada di bawah kesatuan Angkatan Darat. Abdul Halim dan Iswahyudi kemudian ditugaskan untuk membina organisasi AURI di Komandemen Tentara Sumatera. Selain itu, ia juga diangkat sebagai wakil II kepala staf Angkatan Udara dengan pangkat Marsekal Pertama. Abdul Halim juga ditugaskan untuk membuka hubungan luar negeri untuk mencari bantuan dan senjata. Tugas ini amat berat, mengingat waktu itu Indonesia sedang dalam masa konfrontasi dengan Belanda akibat Agresi Militer I Belanda.
Bulan Desember 1947, Abdul Halim dan Opsir Udara I Iswahyudi pergi ke Bangkok melaksanakan tugas Negara. Tanggal 14 Desember 1947, dalam perjalanan pulang ke tanah air, pesawat yang mereka tumpangi mengalami kerusakan mesin dan jatuh di Tanjung Hantu, Malaysia. Marsekal Pertama Abdul Halim dan Opsir Udara I Iswahyudi gugur pada kecelakaan tersebut.
Dalam tahun yang sama 1947, AURI kehilangan putra-putra terbaiknya, setelah sebelumnya Abdul Rahman Saleh dan Adi Sucipto yang juga gugur di Maguwo pada tanggal 29 Juli 1947. SK Presiden RI No.063/TK/1975 mencatat nama Abdul Halim Perdanakusuma sebagai pahlawan nasional.

Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka

AIP II (Anumerta) KAREL SATSUIT (KS) TUBUN


Lahir                : Tual, Maluku Tenggara, 14 Oktober 1928
Wafat               : Jakarta, 1 Oktober 1965
Makam            : TMP Kalibata, Jakarta

Walaupun KS Tubun hanya tamatan Sekolah Dasar, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Polisi Negara di Ambon. Sebagai Agen Polisi Tingkat II, ia ditugaskan di Kesatuan Brigade Mobil (Brimob) Ambon. Selanjutnya ia dipindahtugaskan ke Jakarta, Sumatera Utara 3 tahun, dan Sulawesi. KS Tubun juga pernah bertugas di Sumatera Barat pada saat terjadi pemberontakan PRRI/Permesta.
Tahun 1963, KS Tubun mendapat kenaikan pangkat menjadi Brigadir Polisi, dan ditugaskan di Jakarta. Pada waktu terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, K.S. Tubun sedang piket menjaga rumah Wakil Perdana Menteri II (Waperdam II) Dr. Y. Leimena yang bersebelahan dengan rumah Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution.
KS Tubun bukanlah sasaran dari G-30-S/PKI. Namun, karena ia melihat ada pasukan yang mencurigakan hendak memasuki halaman rumah Jenderal A.H. Nasution, KS Tubun akhirnya ikut menjadi korban. KS Tubun ditembak oleh gerombolan tersebut karena mempertahankan senjatanya dan berupaya untuk melindungi pimpinannya.
Bunyi letusan senjata yang menewaskan KS Tubun membuat Nasution terjaga sehingga sempat menyelamatkan diri meskipun sempat tertembak kakinya. Sebagai penghormatan Negara atas dirinya, Karel Satsuit Tubun dianugerahi gelar pahlawan revolusi berdasarkan SK Presiden RI No. 111/KOTI/1965.

Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka