Kamis, 06 September 2012

R.M. SURYO


Lahir                : Magelang, 9 Juli 1898
Wafat               : Ngawi, 10 September 1948
Makam            : Magelang

Raden Mas (R.M.) Suryo memiliki latar belakang pendidikan kepamongprajaan antara lain OSVIA dan Bestuurs School. Selain itu Suryo juga pernah mendapat pendidikan polisi di Sukabumi.
Awal karirnya dirintis saat ia bekerja sebagai pegawai pamongpraja di Ngawi, kemudian sebagai mantri di Madiun, dan pada masa penjajahan Belanda sebagai Bupati Magetan. Pada masa penjajahan Jepang, Suryo diangkat sebagai Syucokan (Residen) di Bojonegoro.
R.M. Suryo kemudian diangkat sebagai Gubernuh Jawa Timur pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ibukota Provinsi Jawa Timur ini berkedudukan di Kota Surabaya.
Tanggal 23 Oktober 1945, pasukan sekutu (AFNEI) dari Brigade 49 di bawah pimpinan Brigjen AWS Mallaby mendarat di Surabaya. Kedatangan AFNEI sebenarnya bertujuan melucuti pasukan Jepang dan memulangkannya ke negeri asal mereka. Namun, ternyata pasukan Belanda turut membonceng dan ingin menjajah Indonesia kembali. Kemudian terjadilah pertempuran yang menewaskan Brigjen Mallaby.
Sekutu menjadi amat marah dan mendatangkan pasukan tambahan di bawah pimpinan Mayjen R.C. Mansergh. Tanggal 9 November 1945, sekutu mengultimatum agar para pejuang Surabaya menyerah. Masih di tanggal yang sama, R.M. Suryo segera melakukan urun rembuk dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Hasilnya, 9 November 1945, pukul 23.00 Wib melalui siaran radio R.M. Suryo menyatakan menolak ultimatum Inggris. R.M. Suryo juga memerintahkan Rakyat Surabaya untuk siap berperang melakukan perlawanan. Maka pada tanggal 10 November 1945 terjadilah pertempuran besar-besaran yang sering disebut sebagai Pertempuran 10 November.
Tahun 1947, R.M. Suryo diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Tanggal 10 September 1948, R.M. Suryo diculik dan dibunuh oleh gerombolan PKI disaat sedang melakukan perjalanan dinas ke Ngawi. Ketika itu PKI sedang bersiap untuk melakukan pemberontakan. R.M. Suryo mendapat gelar pahlawan kemerdekaan nasional seperti tertera pada SK Presiden RI No. 294 Tahun 1964.

Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka

Senin, 03 September 2012

Ir. H. RADEN DJUANDA KARTAWIDJAJA


Lahir                : Tasikmalaya, 14 Januari 1911
Wafat               : Jakarta, 7 November 1963
Makam            : TMP Kalibata

Setelah menamatkan pendidikannya di THS (ITB), Djuanda memilih menjadi guru di SMA Muhammadiyah Jakarta dan kemudian menjadi direktur di sekolah tersebut. Ia juga pernah menjadi tenaga ahli di Jawatan Pengairan Jawa Barat dan anggota Dewan Daerah Jakarta.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Djuanda diangkat sebagai Kepala Jawatan Kereta Api, kemudian karirnya terus naik dan duduk sebagai menteri perhubungan. Djuanda adalah orang yang paling sering duduk dalam kabinet, tercatat sudah 17 kali dia duduk di kabinet dengan berbagai jabatan.
Djuanda juga pernah menjabat sebagai menteri pertama (perdana menteri), yaitu pada kabinet ketujuh (9 April 1957 – 24 Juli 1959) yang sering disebut juga sebagai Kabinet Karya. Sebagai seorang professional, Djuanda lebih memilih anggota kabinetnya berdasarkan kecakapan dan bukan semata-mata dari kalangan partai politik.
Selama kepemimpinan Djuanda dalam kabinet, ada dua peristiwa penting, yaitu usaha pembunuhan Soekarno di Cikini (30 November 1957) dan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi. Namun keduanya dapat dia atasi. Karena kegagalan konstituante membuat UUD yang baru, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang pada akhirnya membuat kabinet Djuanda mengundurkan diri pada tanggal 24 Juli 1959.
Djuanda wafat empat tahun kemudian karena serangan jantung. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI. No. 244/1963, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai pahlawan kemerdekaan nasional.

Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka

R. OTTO ISKANDAR DINATA


Lahir                : Bandung, 31 Maret 1897
Wafat               : Banten, antara Oktober – 20 Desember 1945
Makam            : Bandung

Setelah menamatkan pendidikannya di HIS (SD) di Bandung, R. Otto Iskandar Dinata melanjutkan ke Sekolah Guru di Purworejo. Setelah selesai, ia diangkat sebagai guru di Banjarnegara. Lalu dipindahkan ke Pekalongan. Di Pekalongan, Otto diangkat sebagai wakil Boedi Oetomo dalam Dewan Kota. Karena sikapnya yang selalu membela rakyat kecil dan mengkritik pengusaha-pengusaha Belanda, ia kemudian berselisih paham dengan Residen Pekalongan. Akibatnya, ia kemudian dipindahkan ke Jakarta, dan mengajar di Sekolah Muhammadiyah. Selain sebagai guru, ia juga bergabung dengan Paguyuban Pasundan yang didirikannya bersama-sama dengan dr. Kusuma Sujana tahun 1914. Ketika Otto kemudian diangkat sebagai ketua dan Paguyuban Pasundan berubah menjadi partai yang berhaluan kooperasi, organisasi tersebut menjadi maju dengan pesat.
Pada tahun 1930, Otto Iskandar Dinata diangkat menjadi anggota Volksraad sebagai wakil Paguyuban Pasundan. Di Volksraad Otto dikenal sebagai orang yang berani mengecam pemerintahan Kolonial Belanda sehingga dijuluki “si Jalak Harupat” (Burung jalak yang berani). Otto pun sering disuruh berhenti saat berpidato karena kata-katanya yang keras dan berani.
Pada tahun 1935, Otto ditarik dari keanggotaan Volksraad. Paguyuban Pasundan kemudian bergabung dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Setelah organisasi GAPI dilarang pada masa pendudukan Jepang, kegiatan Otto adalah mendirikan penerbitan surat kabar Cahaya sebagai ganti harian Sipatahunan yang dilarang terbit pada tahun 1942. Otto pernah menjadi anggota Chuo Sangi In. Pernah pula menjadi anggota PPKI. Ia juga sering bertukar pikiran dengan Gatot Mangkupraja mengenai pembentukan PETA. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Otto diangkat menjadi menteri Negara dan ikut membentuk BKR.
Pada akhir Oktober 1945, Otto Iskandar Dinata diculik oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab setelah sebelumnya ia menerima telepon untuk datang ke Jakarta. Pada waktu itu memang sering terjadi peristiwa penculikan tanpa maksud-maksud yang jelas. Demikian pula dengan Otto yang diculik oleh Laskar Hitam tanpa sebab dan maksud yang jelas.
Jenazah Otto kemudian ditemukan pada tanggal 20 Desember 1945 di Pantai Mauk, Tangerang. Untuk menghormati jasa-jasa R. Otto Iskandar Dinata, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI. No. 088/TK/1973, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepadanya.

Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka

Minggu, 18 Desember 2011

PANGERAN ANTASARI


Lahir             : Banjarmasin, 1797
Wafat            : Bayan Begak, 11 Oktober 1862
Makam          : Banjarmasin

Perlawanan rakyat Banjar terhadap Belanda dimulai saat Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang wafat. Rakyat Banjar dan keluarga besar Kesultanan Banjar, termasuk Pangeran Antasari, menuntut agar Pangeran Hidayatullah, sebagai pewaris takhta Kesultanan Banjar, harus menjadi Sultan Banjar. Sejak saat itulah, rakyat Banjar dengan dipimpin oleh Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, dan Demang Leman mengangkat senjata melawan Belanda.
Pangeran Antasari berhasil menyerang dan menguasai kedudukan Belanda di Gunung Jabuk. Pangeran Antasari juga menyerang tambang batubara Belanda di Pengaron. Pejuang-pejuang Banjar juga berhasil menenggelamkan kapal Onrust beserta pemimpinnya, seperti Letnan Van der Velde dan Letnan Bangert. Peristiwa yang memalukan Belanda ini terjadi atas siasat Pangeran Antasari dan Tumenggung Suropati.
Pada tahun 1861, Pangeran Hidayatullah berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pangeran Antasari kemudian mengambil alih pimpinan utama. Ia diangkat oleh rakyat sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu’min, sehingga kualitas peperangan menjadi semakin meningkat karena ada unsure agama. Saying, Pangeran Antasari akhirnya wafat pada tanggal 11 Oktober 1862 karena penyakit cacar yang saat itu sedang mewabah di Kalimantan Selatan. Padahal, saat itu, ia sedang menyiapkan serangan besar-besaran terhadap Belanda.
Untuk menghormati jasa-jasa Pangeran Antasari, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 06/TK/1968, Pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan kemerdekaan nasional kepadanya.




Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia

PANGERAN DIPONEGORO


Lahir             : Yogyakarta, 11 November 1785
Wafat            : Makassar, 8 Januari 1855
Makam          : Makassar

Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Raden Mas Ontowiryo. Ia juga bergelar “Sultan Abdul Hamid Herucokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi”. Pangeran Diponegoro adalah anak dari Pangeran Adipati Anom (Hamengku Buwono III) dari garwa ampeyan (selir).
Perlawanan Pangeran Diponegoro dimulai ketika dia dengan berani mencabut tiang-tiang pancang pembangunan jalan oleh Belanda yang melewati rumah, masjid, dan makam leluhur Pangeran Diponegoro. Pembangunan jalan ini dilakukan atas inisiatif Patih Danurejo IV yang menjadi antek Belanda. Belanda yang dibantu Patih Danurejo IV kemudian menyerang kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Sejak saat itu, berkobarlah perang besar yang disebut Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).
Belanda sulit mengalahkan Pangeran Diponegoro yang menggunakan taktik gerilya. Dengan dibantu oleh Kyai Mojo (Surakarta), Sentot Alibasya Prawirodirjo, Pangeran Suryo Mataram, Pangeran Pak-pak (Serang), Pangeran Diponegoro berhasil memberikan perlawanan yang hebat kepada Belanda.
Belanda telah menggunakan berbagai cara untuk menangkap Pangeran Diponegoro namun gagal. Sampai pada akhirnya digunakanlah siasat licik dengan berpura-pura mengajak berunding dan berjanji akan menjaga keselamatannya. Namun, ternyata Belanda ingkar janji dan menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 saat terjadi perundingan di Magelang. Tanpa malu Jenderal Hendrik de Kock menangkap Pangeran Diponegoro agar perang besar di Pulau Jawa tersebut dapat segera diakhiri. Perang Diponegoro telah menimbulkan kerugian yang amat besar bagi Belanda.
Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan ditempatkan di Benteng Amsterdam. Namun, empat tahun kemudian ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar hingga wafatnya dan dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar.
Untuk menghormati jasa-jasa Pangeran Diponegoro, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 087/TK/1973, Pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepadanya.


Sumber: Ajisaka, Arya. 2004. Mengenal Pahlawan Indonesia